Minggu, 30 Oktober 2016

Sejarah Fashion Indonesia

Diawali dari Abad ke-15
Budaya jawa  
 
kebaya wanita Sejarah Fashion Indonesia - Menurut Denys Lombard dalam bukunya Nusa Jawa: Silang Budaya (1996) Kebaya berasal dari bahasa Arab ‘Kaba’ yang berarti ‘pakaian’ dan diperkenalkan lewat bahasa Portugis ketika mereka mendarat di Asia Tenggara. 


Kata Kebaya dapat diartikan sebagai jenis pakaian (atasan/blouse) pertama yang dipakai wanita Indonesia pada kurun waktu abad ke-15 atau ke-16 Masehi. Argumen Lombard tentu dapat diterima terutama lewat analogi penelusuran lingustik yang memang sampai saat ini kita masih mengenal ‘Abaya’ yang dapat diartikan tunik panjang khas Arab.

 Sementara sebagian yang lainnya percaya Kebaya kaitannya dengan pakaian tunik perempuan pada masa Dinasti Ming di Cina, dan ini membawa pengaruh setelah imigrasi besar-besaran menyambangi semenanjung Asia Selatan dan Tenggara di abad ke-13 hingga ke-16 Masehi.

Terlepas dari asal usulnya yang Arab, atau Portugis, atau Cina, kita sangat mahfum bahwa penyebarannya ini memang dari arah utara kepulauan Indonesia. Artinya, negara-negara yang dilewati oleh penyebaran ala  bangsa Arab, Portugis, dan Cina bisa jadi mereka memiliki versi berbeda dari kebayanya masing-masing. 


Dan akhirnya, Jawa menjadi tujuan penyebaran paling selatan, karena tidak diketemukan jejaknya lagi di kepulauan Pasifik barat atau semenanjung utara Australia.

Hingga pada pertengahan abad ke-18, ada dua jenis kebaya yang banyak dipakai masyarakat, yakni kebaya Encim, busana yang dikenakan perempuan Cina keturunan di Indonesia, dan kebaya Putu Baru, busana bergaya tunik pendek berwarna-warni dengan motif yang cantik.


kebaya perempuan
Pada abad ke-19, kebaya dikenakan oleh semua kelas sosial setiap  hari, baik perempuan Jawa maupun wanita peranakan Belanda. Bahkan kebaya sempat menjadi busana wajib bagi perempuan Belanda yang hijrah ke Indonesia.

Tahun 1950
Tahun '50-an ditandai dengan gaya berbusana klasik yang elegan, yang populer dengan sebutan gaya "New Look" yang diadaptasi dari tren fashion dunia. Dahulu, model busana ini sering dianggap sebagai model rancangan Christian Dior, yang pada tahun 1947 memperkenalkan corolle line, namun kemudian lebih dikenal sebagai The New Look. 

Meski banyak perancang lain seperti Balenciaga, Balmain dan Faith yang juga turut mengadaptasi bentuk ini sebelumnya pada tahun 1939. sayangnya, usaha mereka ini terhambat akibat meletusnya Perang Dunia II. Alhasil, dua tahun setelah perang, Dior lah yang berhasil menciptakan 'sensasi internasional' dengan rancangan gaya New Look ini.
 busana New Look  Desain busana   New Look benar-benar merupakan kebalikan dari sikap ekonomis atau hemat. Pasalnya, untuk satu busana saja membutuhkan bahan kira-kira sepanjang lebih dari 23 meter. 

Gaya New Look menitikberatkan pada bentuk tubuh wanita yang dibesar-besarkan pada bagian pinggang ke bawah. Dengan bantuan pakaian dalam yang bertulang (boned) dan bahan yang dikakukan secara otomatis model rok New Look seakan mengembang besar. Ini adalah beberapa desain busana   dengan gaya new look:
Pada awal kemunculannya, New Look menimbulkan kontroversi di seluruh dunia Barat. Meski banyak wanita pada zaman itu mengadopsi gaya ini, tetapi banyak pula yang menolak karena New Look dianggap sebagai busana pemborosan dan artificial (palsu). 

The House of Dior (rumah mode milik Christian Dior, red) dijaga ketat oleh wanita-wanita yang berang masa itu. Beruntungnya, justru akibat pemberitaan kontroversi tersebut, publisitas New Look semakin melambung dalam semalam saja. New Look kemudian terus berlanjut bahkan dalam beragam variasi bentuk hingga pertengahan tahun 1950-an.
Tahun 1960

Mode di tahun 60-an Mode di tahun '60-an terasa lebih berwarna dan bervariasi. Selain gaya berbusana elegan dan  chic ala Jackie O yang juga menyebar ke Indonesia, gaya ini juga dimeriahkan dengan gaya serba mini. Menjelang akhir '60-an, gaya serba mini ini berkolaborasi dengan motif-motif berani, yang kemudian di Indonesia dikenal dengan istilah A Go-go Look



Tahun 1970-1990
Siluet untuk busana wanita Tahun '70-an mode di Indonesia terlihat makin berwarna. Kehadiran perancang baru membuat nuansa warna yang sudah ada terlihat semakin kuat dan menarik. Tahun '70-an ini identik dengan gaya hippies serta gaya disco. Karena itulah gaya berbusana yang populer di era ini didominasi oleh celana bell bottom, kemeja pas badan dengan kerah super lebar, dan sebagainiya. Siluet untuk busana wanita sendiri masih banyak mengolah gaya mini serta potongan longgar.


Perancang Indonesia
Tahun '80-an adalah era 'powerful women'. Sesuai dengan era tersebut, di masa ini bermunculan busana dengan siluet serta besar, seperti padding yang menonjol di bagian bahu, siluet busana yang besar dan cenderung longgar. Permaian detail dan aksen berukuran besar (seperti kancing-kancing misalnya), serta paduan warna kontras. Perancang Indonesia di masa itu sangat terpengaruh dengan gaya ini, sehingga gaya berbusana yang ada pun cenderung berukuran besar.


majalah wanita Femina

'90-an hingga sekarang adalah masa di mana gaya individual terlihat semakin berani bersuara. Tak heran jika di era ini, para perancang busana berbakat yang jumlahnya semakin banyak hadir dengan keunikan sendiri yang mencerminkan karakter mereka masing-masing. 

Ada yang menampilkan gaya busana serba tumpuk beraura vintage, ada yang bergaya maskulin, bergaya cantik, terkesan mewah dan elegan hingga yang beragaya unik.

Dunia mode nasional mulai mengadaptasi kegiatan mode eropa. Salah satunya koreografi dalam peragaan busana. Sejak diperkenalkan Norbert Schmitt pada tahun 1969 di Eropa, koreografi untuk peragaan busana mendarat di Jakarta pada tahun 1974. 

Perintis nasionalnya adalah Rudy Wowor yang merupakan murid Schmitt. Pada saat itu, istilah show director dalam peragaan busana belum dikenal sehingga beliau tak saja mengatur langkah dan ekspresi sang model, tapi juga menata pencahayaan, dekorasi dan musik pengiring. Profesi koreografer ini lalu diikuti Doddy Haykel, Denny Malik dan Guruh Sukarnoputera.
Dalam dunia jurnalisme mode, majalah wanita Femina hadir pada tahun 1972. Menurut catatan situsnya, Femina menunjukkan perhatian besar kepada dunia mode sejak edisi keduanya (bulan Oktober) melalui sebuah reportase tren mode yang ditulis oleh Irma Hadisurya.
Selain menghadirkan berita mode dari pusat mode seperti Pierre Cardin, Femina pun menunjukkan apresiasi terhadap mode nasional. Terutama saat Pia Alisjahbana dan Irma Hadisurya mengusulkan Femi  na mengadakan Lomba Perancang Mode secara tahunan sejak tahun 1979. Dari ajang inilah hingga sekarang banyak disainer baru muncul seperti Chossy Latu, Samuel Wattimena, Carmanita, Edward Hutabarat, dan Stephanus Hamy.
Sementara itu, keterbatasan kesempatan bersekolah mode atau rancang busana di tanah air tak mematahkan semangat mereka yang ingin menjadi desainer. Sebagian melanglang buana ke luar negeri. Harry Dharsono, Poppy Dharsono, dan Iwan Tirta adalah beberapa contohnya.

Tahun 1990-2008

Tahun 1990-an ditandai dengan isu globalisasi dan internet. Artinya, kemudahan masyarakat mengakses informasi mode dari luar negeri menyebabkan kegandrungan akan budaya barat yang glamour. Glamoritas ini terasa pada karya disainer-disainer yang naik daun di tahun 1990-an. Sebastian Gunawan, misalnya. 

Setelah menggelar koleksinya yang terdiri atas ballgown dan ane  ka payet, manik dan kristal, demam kemewahan ala selebritas Hollywood pun mewabah. Kemewahan ini juga terasa melalui gaun-gaun Biyan, Arantxa Adi, Adjie Notonegoro dan Eddy Betty. Hingga akhir 1990-an, persaingan untuk mendapatkan tempat di hati para pecinta mode semakin ketat diikuti semakin banyaknya nama-nama baru, apalagi dengan kehadiran sekolah mode franchisee seperti Esmod dan Lasalle. 
Di tahun 2000-an, mode Indonesia semakin kaya akan ide dan inspirasi. Setiap disainer memiliki ciri tersendiri. Adrian Gan, Obin, Kiata Kwanda, Sally Koeswanto, Tri Handoko dan Irsan selalu memukau dengan busana-busana mereka yang sangat bernafaskan seni. Ada juga yang sukses mensosialisasikan busana tradisional sebagai busana modern seperti Edward Hutabarat dan Anne Avantie. 

Beberapa meraih penghargaan melalui event seperti Indonesian Mercedes Benz Fashion Award dan Harper’s Bazaar fashion Concerto. Ada pula yang ditampilkan melalui film seperti busana Tri Handoko, Sebastian Gunawan dan Didi Budiarjo yang dikenakan Aida Nurmala dalam film Arisan. Namun, ada juga yang lebih sukses di luar negeri seperti Farah Angsana di Paris atau Mardiana Ika dan Ali Charisma di Hongkong.
2010 hingga sekarang
boy band dan girl band Indonesia

Demam K-pop yang melanda Indonesia turut mempengaruhi perkembangan fashion di tanah air. Lihat saja gaya remaja Indonesia sekarang yang mengikuti tren fashion korea. Hal ini dikarenakan semakin banyaknya boy band dan girl band korea yang begitu popular  , bahkan sekarang begitu banyak bermunculan boy band dan girl band Indonesia yang meniru gaya maupun fashion mereka. 

0 komentar:

Posting Komentar